Kamis, 12 September 2013

Menyiasati Naiknya Harga Tempe

Menyiasati Naiknya Harga Tempe
Bangsa tempe ini, akhirnya harus mengakui bahwa tempe, bukan benar-benar dari hasil bangsanya. Betapa tidak, bahan baku tempe, sebagian besar adalah bahan impor. Bahan utama pembuatan tempe adalah kedelai (ya, tahulah, masak beras), adalah hasil impor. Makanya begitu gejolak bbm naik, dolar naik, harga bahan impor naik, kedelai tak terbeli. Akhirnya para sahabat kita para produsen tempe mogok, warteg langganan juga kebagian jatah, tidak bisa jualan tempe mendoan. Akhirnya, tradisi gorengan pagi pun kacau, karena tidak ada tempe. Tempe ini masih seri lanjutan dari harga daging sapi. Yang sampai saat ini masih gentayangan di atas ratus ribuan. Makanya ada istilah di forum-forum bbm “Jika yang berbaris di dompet masih Pattimura, Antasari, Imam Bonjol, plus Mahmud Badarudin, Anda belum merdeka. Tunggulah sampai Bung Karno dan Moh Hatta tersenyum rapih.”
Mungkin bukan sekadar tempe yang kita bicarakan sodara-sodara. Bisa lebih dari ini. Ini bisa menjadi harga diri bangsa (berapa bung?). Untuk sekadar produksi tempe saja sudah tidak bisa. Kedelai harus impor. Ini sebenarnya permainan siapa? Apakah memang impor itu sudah tradisi, sudah menjadi budaya, sehingga menanam kedelai sendiri sudah tidak bisa. Ternyata bukan berimbas ke tempe saja, perihal kerupuk juga sudah naik harga. Jika dipikir-pikir, apa sebenarnya hubungannya ya? Siapa yang harus disalahkan (hehehe… paling enak kan nunjuk orang laen)?
Mungkin seharusnya yang harus kita bahas kali ini adalah budidaya kedelai. Jika sudah dibahas, pakailah hashtag #budidayakedelai, #tanamkedelai, #dlltentangkedelai, agar kedelai menjadi ramai, menjadi buah bibir sejagat nusantara kita. Bertanam kedelai tidaklah sesulit yang dibayangkan orang. Kedelai tidaklah membutuhkan iklim subtropis untuk tumbuh, tidak. Di iklim tropis pun, kedelai insyaallah bisa subur. Atau barangkali predikat negara agraris memang sudah harus kita tinggalkan jauh-jauh. Saat ini harusnya berpredikat negara importir, impor segala-gala. Mungkin, saudara kita para petani sudah enggan ke sawah ladang. Lebih baik ke kota mencari kerja. Lebih baik merantau meninggalkan kampung halamannya. Karena apa? Karena bertani sudah tidak menjanjikan lagi? Begitukah?
Dunia ini memang sodara-sodara, tempatnya ujian, tempatnya cobaan. Jadi mungkin wajar jika kita bersusah-susah di dunia ini. Serba susah. Apakah ini sudah menjadi pemikiran bawah sadar bangsa Indonesia ya, bahwa hidup itu harus susah? Barangkali ini yang perlu mendapat perhatian kita semua. Generasi umat-umat terdahulu, barangkali kita memandangnya dengan pandangan mereka susah, mereka berjuang dengan susah, sulit, mungkin itu pandangan kita. Namun, bisa jadi mereka bahagia. Mereka bahagia karena mereka memperjuangkan hakikat hidupnya. Mereka berjuang menuntut kemerdekaan. Mereka jihad dengan harta dan nyawa. Mereka berjuang menegakkan agamanya. Sedangkan saat ini, apa sebenarnya yang kita perjuangkan? Ini barangkali yang perlu kita maknai bersama. Apa yang kita perjuangkan saat ini.
Dahulu ada istilah yang sering kita dengar “mengisi kemerdekaan”. Namun sepertinya istilah-istilah seperti ini saat ini mulai redup. Di satu sisi para buruh harus turun ke jalan memperjuangkan nasibnya. Disisi lain para pengusaha berjuang memperkokoh bisnisnya, agar prinsip ekonomi – dengan pengeluaran sekecil-kecilnya, menghasilkan pendapatan sebesar-besarnya bisa tercapai. Di sisi lain, ada sebagian mereka yang berusaha meraih suara rakyat kecil, dan meraih suara para pemilik modal untuk terus mendukungnya berkuasa. Nah, siapa yang benar-benar berjuang untuk negeri ini? Saat awal menjabat, langkah awal jangan-jangan adalah – bagaimana kekuasaan mereka langgeng, bagaimana modal pemenangan pemilu bisa kembali; jangan-jangan itu yang terpikir. Bukan berpikir bagaimana bangsa ini maju. Jadi, saat ini, saya – pribadi – malah berpikir, bagaimana mungkin sistem seperti ini bisa kita pertahankan. Tengoklah pilkada-pilkada di daerah-daerah. Berapa banyak pilkada berlangsung, berapa biaya yang dikeluarkan? Berapa banyak yang berakhir ricuh, rusuh, bakar-bakaran, semua sudah sangat banyak. Banyak, tapi mungkin tidak tercatat. Tidak tercatat atau tidak dicatat. Dibiarkan saja. Mau tidak mau, inilah saat ini negeri kita tercinta. Untuk sekadar tempe, biarlah saja pasar yang memikirkannya. Saya – penguasa – akan memikirkan hal yang lebih besar, memikirkan saya, dan kekuasaan saya. Rakyatku, sudah biasa berkorban. Berkorbanlah sekali lagi, dan kali-kali berikutnya.
Ingatlah saudaraku – ingatlah akan surga yang seluas langit dan bumi. Jika Anda sedang kesusahan, jika Anda terzholimi, berdoalah. Berdoalah yang baik-baik untuk Anda, untuk keluarga Anda, untuk bangsa ini. Berdoalah memohon ampunanNYA. Berdoalah diturunkanNYA rahmat untuk bangsa ini, sehingga bangsa ini menjadi aman sejahtera. Berdoalah, agar tahun ini dan tahun-tahun depan kita diberi kemudahan, pemimpin yang adil, yang mampu membawa bangsa ini keluar dari krisis demi krisis, menjadi negara yang adil makmur sejahtera. Ingatlah wahai para pengrajin tempe, doa mereka yang terzholimi adalah diijabah. Berdoalah yang baik-baik. Ingatlah wahai para pemimpinku, jika doa keburukan sampai keluar dari mulut mereka yang terzholimi, kemanakah engkau akan menghindar? Sungguh, dunia ini cepat berlalu. Kesenangan di dunia juga sementara. Sehat dan sakit, bisa berganti-ganti. Marilah kita sama-sama mengejar akhirat yang lebih kekal. Dengan modal dunia ini. Juallah dunia untuk akhirat. Adillah dalam memimpin, taatilah para pemimpinmu. Mudah-mudahan kita semua dimasukkan dalam hambanya yang sholih-sholihah. Untuk para pemimpin, ingatlah, hanya pemimpin yang adil yang akan mendapat naunganNYA di hari kiamat. Hari saat huru-hara terjadi. Untuk saudara-saudaraku yang kekurangan, ingatlah, bahwa merekalah yang lebih cepat hisabnya di akhirat nanti. Jika dunia ini berat, hisab akhirat lebih berat. Kemana kah kita semua akan dibawa saat hisab nanti? Ke golongan kanan atau golongan kiri? Bekal apa yang sudah kita bawa?

Kembalilah kepada TUHANMU...
Dengan membawa iman dan Islam...
Renungkanlah…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar