Rabu, 05 Juni 2013

Beda Bunga Bank dan Margin Bank

Beda Bunga Bank dan Margin Bank


Bunga bank? Margin bank? Apa itu? Pentingkah untuk dibahas?

Bisa ya, bisa tidak. Karena ini menyangkut muamalah, menyangkut amal bermasyarakat. Menyangkut transaksi halal-haram. Mana yang boleh, mana yang dilarang.

Karena ada sebagian komentar bahwa bunga ya sama saja dengan sebutan margin, hanya beda istilah saja. Tidak saudara-saudara. Bunga dan margin berbeda. Secara prinsip berbeda, dan secara syar’i juga berbeda. Yang satu dilarang, dan yang satu diperbolehkan.

Ah, buktinya saya membayar di bank syariah lebih mahal? Ah, ribet sekali ya di bank syariah persyaratannya? Dan ah, ah, ah yang lainnnya. Karena memang saudaraku, bank syariah itu bukan lembaga amil zakat, yang jika Anda tidak bayar angsuran Anda bisa berlapang dada. Dana di bank syariah sebagian adalah dana titipan, sebagian dana kerjasama yang harus ada bagi hasilnya. Nah jika Anda mengambil pembiayaan, dan tidak mampu mengembalikan, maka Anda harus malu kepada umat ini.

Kembali ke bunga dan margin. Ini bukan hanya perkara beda istilah. Bukan. Jika Anda menyebut bunga sama dengan margin, itu sama sekali salah. Ini sebagai ilustrasi: Anda meminjam uang kepada teman Anda, misalnya 10 juta. Anda dikenakan bunga 10% atau 20% dalam satu tahun. Nah bunga disini adalah atas pinjaman Anda. Pinjam-meminjam adalah akad kebaikan. Pinjaman Anda 10 juta, yang harus Anda kembalikan juga sama, 10 juta. Tidak boleh ada lebihnya. Kelebihan disini adalah riba.

Lain halnya jika demikian, Anda menginginkan sesuatu, motor misalnya. Harga 10 juta. Anda tidak memiliki uang cash. Namun jika Anda cicil, Anda mampu. Nah Anda bilang ke teman Anda, Anda butuh motor, dan teman Anda membantu Anda dengan membelikan motor tersebut terlebih dahulu, cash 10 juta. Nah teman Anda menjual motor tersebut ke Anda, misalnya 12 juta. Nah Anda tinggal cicil utang Anda yang 12 juta tadi. 10 juta adalah harga pokok, dan 2 juta adalah margin teman Anda. Jual beli ini, insyaallah sah, dan halal. Seperti inilah praktik di bank syariah.

Manakah yang Anda pikirkan halal? Bunga bank, atau margin bank?

Semoga bermanfaat

Produk KPR bank syariah, klik disini

14 komentar:

  1. Jika dilihat dari sisi uang, at the end of the day, sama ada lebih 2 jt buat si pemberi hutang. Orang biasa bilang bunga, kalangan tertentu bilang margin. Seperti kata di penjarakan kan kasar, jadinya bahasanya di sekolahkan saja (di Cipinang). Penjara itu kasar, sekolah itu halus. Bunga itu haram, Margin itu halal. ujung-ujungnya sama saja.

    BalasHapus
    Balasan
    1. jelas beda, karena margin atas dasar jual beli, bukan atas simpan pinjam, kalau simpan pinjam ya harus di bayar dengan nilai yg sama dan tidak boleh di lebihkan.. hhaha

      Hapus
  2. jika dilihat jumlah mungkin sama, atau malah mungkin margin bisa lebih besar dari bunga. Itu jika dilihat dari jumlah.

    Namun secara hukum tetap berbeda. yang satu halal, yang satu haram.

    Cobalah bayangkan, ada pasangan yang berzina - naudzubillah. Dan ada pasangan yang menikah. Kalo mau ditelusuri, apa ya bedanya kumpul kebo dengan hubungan suami istri?

    Yang jelas, satu haram, satu halal. Beda bukan? Nanti baca-baca lagi dah rukun nikah, biar afdhol, ada akad, pasangan, saksi, wali dsb...

    BalasHapus
  3. Saya mengambil kredit di Bank X dengan jumlah 70 juta, dengan tempo 10 tahun. Marginnya hampir 70 jt juga, total hampir 140jt harus saya bayar padahal uang yg cair cuma 70jt, gila gak tuh. Bener2 memberatkan. Klo ga butuh x saya ga bakalan ambil. bener2 mencekik leher saya.. Model gtu kok syariat??

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itulah jual beli pak/bu. harga sudah ditetapkan. harga jual sudah ditetapkan. Jika konsumen setuju, jual beli bisa dilanjutkan, jika tidak, tentu transaksi tidak akan terjadi.
      Lain halnya di bank lain, harga yang Anda beli tidak jelas. sebenarnya berapa harga yang harus Anda bayar? tidak ada yang tahu. Bahkan bank sendiri juga tidak tahu, bulan sekarang bayar sekian, bulan depan, berapa Anda harus bayar. Bukankah lebih tidak adil pembelian seperti ini?

      Demikian, semoga berkenan

      Hapus
    2. Menyangkut td pinjaman yg 70jt. knapa waktu ada akad anda menyetujui akad tersebut??? Jangan pernah menyamakan antara syariah dan konven, Karena syariah punya dalil2nya

      Hapus
  4. kapan bank syariah menjadi mediator yang lebih advance lagi. Misalnya memberikan modal kepada UKM dengan sistem bagi hasil yang adil ? jangan hanya jadi calo barang saja. Semoga cepat terwujud.. amiinn

    BalasHapus
  5. Hukum Kredit Segitiga

    Agar lebih mudah memahami hukum kredit model ini, mari kita simak ilustrasi berikut:

    Dalam sebuah showroom dealer sepeda motor, dipajang sebuah motor dengan harga 10 juta tunai dan 17 juta kredit. Datang pak Ahmad hendak membeli motor dengan pembayaran dicicil (kredit). Setelah deal transaksi, beliau akan diminta mengisi formulir plus tanda tangan, dan biasanya dengan menyertakan barang jaminan, serta uang muka.

    Setelah akad jual-beli ini selesai dan pembeli-pun membawa pulang motor yang dibeli, selanjutnya beliau berkewajiban menyetorkan uang cicilan motor ke bank atau lembaga pembiayaan, dan bukan ke dealer tempat ia mengadakan transkasi dan menerima motor yang dibeli.

    Keberadaan dan peranan pihak ketiga ini menimbulkan pertanyaan besar, mengapa Pak Ahmad harus membayarkan cicilannya ke bank atau lembaga pembiayaan, bukan ke dealer tempat ia bertransaksi dan menerima motornya?

    Jawabannya sederhana, karena Bank atau lembaga pembiayaan telah mengadakan kesepakatan bisnis dengan pihak dealer, yang intinya, bila ada pembeli dengan cara kredit, maka pihak bank berkewajiban melunasi harga motor tersebut, konsekwensinya pembeli secara otomatis menjadi nasabah bank, sehingga bank berhak menerima cicilannya. Praktik semacam ini dalam ilmu fiqih disebut dengan hawalah, yaitu memindahkan piutang kepada pihak ketiga dengan ketentuan tertentu.

    Pada dasarnya, akad hawalah dibenarkan dalam syariat. Akan tetatpi permasalahannya menjadi lain, tatkala hawalah digabungkan dengan akad jual-beli dalam satu transaksi. Bila kita mencermati kredit segitiga yang dicontohkan di atas, dapat dipahami dari dua sudut pandang:

    Pertama, Bank mengutangi pembeli motor tersebut Rp 10 juta, dalam bentuk Bank langsung membayarkannya ke dealer. Kemudian pak Ahmad dituntut untuk melunasi cicilan piutang Rp 17 juta tersebut ke bank.

    Bila demikian yang terjadi, maka transaksi ini jelas-jelas riba nasi’ah (riba jahiliyyah). Tujuh juta yang menjadi tambahan adalah riba yang diserahkan ke bank. Hukum transaksi ini terlarang, sebagaimana ancaman dalam hadis dari sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat pemakan riba (rentenir), orang yang memberikan/membayar riba (nasabah), penulisnya (sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya. Beliau juga bersabda: “Mereka semua dosanya sama.” (HR. Muslim)

    Kedua, Bank membeli motor tersebut dari dealer dan menjualnya kembali kepada pak Ahmad. Hanya saja bank sama sekali tidak menerima motor tersebut. Bank hanya mentransfer sejumlah uang seharga motor tunai, kemudian pembeli membayar cicilan ke bank. Bila realita bank membeli motor ini benar, maka Bank telah menjual motor yang dia beli sebelum menerima motor tersebut. Sehingga Bank atau lembaga pembiayaan telah menjual barang yang belum sepenuhnya menjadi miliknya. Sebagai salah satu buktinya, surat-menyurat motor tersebut semuanya langsung dituliskan atas nama pembeli, dan bukan atas nama bank yang kemudian dibalik nama ke pembeli.

    BalasHapus
  6. Kesimpulannya
    Hakikat perkreditan segitiga ini adalah salah satu bentuk rekasaya riba yang jelas-jelas diharamkan dalam syariat. Larangan menjual barang sebelum menerima dari pembeli pertama, ditunjukkan dalam hadis dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas berkata, “Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan.” (Muttafaqun ‘alaih)

    Pendapat Ibnu ‘Abbas ini selaras dengan pendapat Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu sebagaimana ditunjukkan dalam hadis berikut,

    Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu, ia mengisahkan: “Suatu ketika, saya membeli minyak di pasar. Setelah saya membelinya, ada seorang lelaki yang menemuiku dan menawar minyak tersebut. Kemudian ia memberiku keuntungan yang cukup banyak, maka aku pun menerimanya. Tatkala aku hendak menyalami tangannya, tiba-tiba ada seseorang di belakangku yang memegang lenganku. Maka aku pun menoleh, dan ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit. Kemudian ia berkata, ‘Janganlah engkau jual minyak itu di tempat engkau membelinya, hingga engkau pindahkan ke tempatmu. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang menjual kembali barang (yang dia beli), di tempat barang tersebut dibeli, hingga barang tersebut dipindahkan ke tempat mereka masing-masing.” (HR. Abu Dawud dan Hakim)

    Para ulama menyebutkan beberapa hikmah dari larangan ini, di antaranya, ketika bank membeli barang dari dealer dengan harga 10 juta, sementara dia tidak menerima barang sama sekali, kemudian dia jual ke pembeli seharga 17 juta maka hakikat transaksi ini adalah menukar rupiah 10 juta dengan 17 juta. Alasan ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu ketika muridnya yang bernama Thawus mempertanyakan sebab larangan dalam hadis Ibnu Abbas di atas.

    Thawus mengatakan, “Saya bertanya kepada Ibnu ‘Abbas, ‘Bagaimana kok demikian?’ Beliau menjawab, ‘Itu karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda’.” (Muttafaq ‘alaihi)

    Ibnu Hajar menjelaskan perkatan Ibnu ‘Abbas di atas dengan berkata, “Bila si A membeli bahan makanan seharga 100 dinar –misalnya- dan ia telah membayarkan uang tersebut kepada penjual (si B), sedangkan ia belum menerima bahan makanan yang ia beli, kemudian ia menjualnya kembali kepada si C seharga 120 dinar dan ia langsung menerima uang pembayaran tersebut dari C, padahal bahan makanan yang ia jual masih tetap berada di si B, maka seakan-akan si A telah menjual/menukar (mengutangkan) uang 100 dinar dengan pembayaran/harga 120 dinar. Sebagai konsekwensi penafsiran ini, maka larangan ini tidak hanya berlaku pada bahan makanan saja, (akan tetapi berlaku juga pada komoditi perniagaan lainnya pen.).” (Fathul Bari, oleh Ibnu Hajar Al-Asqalany 4:348-349)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih banyak untuk tulisannya.

      Khusus untuk permasalahan ini, saya terus terang sudah mencoba menanyakan ke ustadz-ustadz; dan jawaban memang sedikit bervariatif. Secara umum, sebagian membolehkan, sebagian melarang.

      Namun memang, untuk saat ini, di Indonesia memang belum ada bank syariah, yang memang memberikan fasilitas seperti yang Saudara sampaikan.
      Pertama, ada alasan perpajakan. Untuk akad belum sepenuhnya milik bank saja (maksudnya baru dokumen saja), bank sudah dimintakan pajak; masalah perpajakan ini masih hangat, belum terlalu lama. Kemungkinannya jika diterapkan kepemilikan penuh oleh bank, pajak akan dibebankan pada pembeli, dan harga akan semakin mahal.

      Alasan berikutnya adalah peraturan; peraturan yang mengikat bank masih peraturan bahwa bank adalah lembaga mediasa - lembaga keuangan - yang menyalurkan pembiayaan dari dana pihak ketiga. Bank tidak diperkenankan memiliki usaha lain selain ini. Bukan jual beli. Jadi bank syariah juga masih mengikuti aturan ini.

      Demikian sekilas. Mudah-mudahan nanti kita bisa lanjutkan kembali.

      Salam

      Hapus
  7. Saya kpr rumah cuma 120 jt..tp dana cair dari bank 100 jt, saya mengembalikan 240 jt selama 15 th, bank syariah punya margin 140 jt..bener2 melebihi pinjaman..bahkan hampir 150% yahh tp saya tetap ambil karena saya butuh, tp bener2 tdk mencerminkan syariah..syariah membantu tp jangan tll tinggi marginnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya setuju emang beda bunga (Riba) dengan margin (keuntungan); Namun kenyataan di lapangan yang terjadi adalah 1000% pasti margin bank syariah lebih tinggi dari bunga konvensional, ini karena generasi kita berbeda dengan generasi Rosululloh/Generasi para Sahabat Rosul. generasi kita niat dan akad menggunakan akad syariah, tetapi dibalik akad itu untuk mendapatkan margin, menggunakan benchmark bunga konvensional dan kontraknya tetap ditentukan pihak penjual barang (pemberi pinjaman).

      Hapus
    2. Sebenarnya kasusnya - jika hanya 1-2 tahun saja; paling-paling dari 100 juta, margin bank hanya 6-12 jutaan.
      namun untuk jangka waktu panjang, dan bank menanggung resiko ketidakpastian dalam jangka waktu sepanjang itu (15 tahun), bank mengambil untuk sebesar itu, sebanding dengan resiko bank.

      Permasalahan ini juga dikaitkan dengan dana bank. Dana bank adalah dana pihak ketiga. Dana pihak ketiga umumnya menggunakan akad mudhorobah (biasanya mudhorobah mutlaqoh). Secara sederhana adalah akad kerjasama antara pemilik dana dengan bank. Nah, dalam akad ini biasanya pemilik dana (nasabah) akan mendapatkan bagi hasil.

      Berapa lama kira-kira bank (konvensional) sudah ada di Indonesia? ada bank yang sudah 100-an tahun lebih lho. Nah budaya mendapatkan "bunga" - atau bagi hasil tidak bisa dihilangkan. Padahal ada akad penyimpanan dana lagi, yaitu akad wadiah (titipan). Biasanya akad wadiah ini, pihak pemilik dana (nasabah) tidak diberikan bagi hasil. Kan nitip. Namanya nitip ada biayanya wajar bukan? hehhehe...

      Tapi tetep, biasanya bank memberikan bonus. nah bonus ini berapa kan terserah bank. Bonus kan, dikasih sukur, gak dikasih ya emang gak ada. Begitu. Jika semua nasabah menyimpan dalam bank syariah dengan akad ini, mudah-mudahan, mereka yang mempergunakan dana (nasabah pembiayaan/kredit) tidak dikenakan margin yang besar. Cukup margin kecil saja. Benar bukan?
      Ya lah, kan pemilik dana nggak meminta bagi hasil. Demikian.

      Nah inilah sedikit masalah di Indonesia. Budaya bunga sudah sangat lama. Jadi itu belum bisa dikikis. Namanya nyimpen dana ya dapat bagi hasil. Bukankah begitu pemikiran kita pada umumnya.

      Demikian...

      Hapus
  8. Margin itu halal tetapi yang rasional..kalau tidak rasional margin menjadi haram hukum nya!!!! Apakah Bank Syariah margin nya rasional ?? Wallahu alam..

    BalasHapus